Selasa, 24 November 2020

MATERI PAI KELAS X BAB IV




Membuka Relung Hati 
Cermati gambar dan wacana berikut.

Alkisah, terdapatlah seorang pengembara yang terbangun dari keadaan tidak sadar dan mendapati dirinya di tengah hutan. Dia tidak tahu di mana ia berada, dari mana dia berasal, siapa dia, dan untuk apa dia ada di hutan itu. Namun yang dia tahu adalah bahwa dia berada di sebuah hutan belantara, dikelilingi semak belukar lebat, pepohonan, binatang liar, dan tanpa ada seorang manusia pun untuk tempat bertanya. Di sekitar tempat dirinya terbangun, tidak dia temukan apa pun yang dapat mengingatkan dirinya akan asal-usulnya, dan kenapa dia ada di tempat itu. 
Seiring waktu berjalan, dia mencapai titik lelah untuk mencari siapa dirinya, dan mengapa dia berada di tempat itu. Akhirnya, yang ia lakukan dalam keseharian hanyalah bertahan hidup, tanpa tujuan dan arah yang pasti. Hingga suatu ketika datang seseorang yang mengaku sebagai utusan maharaja, yang menerangkan jati dirinya melalui sebuah surat dari sang raja, bahwa dia adalah seorang pangeran yang berasal dari suatu negeri, diutus ke tempat ini untuk mencari harta karun. Buktinya adalah secarik kertas kecil yang diselipkan di bajunya, berisi catatan tentang siapa dia dan misi apa yang dia bawa di hutan. 
Cerita pengembara di atas, jika dianalogikan dengan kehidupan kita sebagai manusia ibarat ‘pengembara’ yang hidup di “hutan dunia”. Seandainya saja tidak ada utusan yang membawa petunjuk, tentulah kita akan tersesat dan kebingungan dalam mengarungi hidup ini. Sebagaimana mereka yang tidak beriman seperti kaum materialis, ateis, dan hedonis yang hidup dalam kesesatan. Oleh karena itu, bersyukurlah kita yang mendapatkan petunjuk dari utusan Allah Swt. yaitu Muhammad saw. yang menyampaikan kabar gembira, memberi peringatan, dan menerangkan hakikat penciptaan kita di dunia. Bersama beliau, diturunkanlah al-Qur’ān sebagai pedoman hidup.

Mengkritisi Sekitar Kita 
Cermati gambar dan wacana berikut. 
Dalam al-Qur’ān Allah Swt. berfirman, “... barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (Q.S. al-Mā’idah/5:44). Ayat tersebut mendorong manusia, terutama orang-orang yang beriman agar menjadikan al-Qur’ān sebagai sumber hukum dalam memutuskan suatu perkara, sehingga siapa pun yang tidak menjadikannya sebagai sumber hukum untuk memutuskan perkara, maka manusia dianggap tidak beriman. 
Hukum-hukum Allah Swt. yang tercantum di dalam al-Qur’ān sesungguhnya dimaksudkan untuk kemaslahatan dan kepentingan hidup manusia itu sendiri. Allah Swt. sebagai pencipta manusia dan alam semesta Maha Mengetahui terhadap apa yang diperlukan agar manusia hidup damai, aman, dan sentosa. 
Bukankah para ahli teknologi yang membuat barang-barang canggih, seperti pesawat terbang, mobil, komputer, handphone, dan barang-barang elektronik lainnya selalu memberikan buku petunjuk penggunaan atau pemakaian kepada para pemiliknya? Apa tujuan produsen atau para ahli tersebut menerbitkan buku tersebut? Jawabannya bahwa tanpa menggunakan buku petunjuk tersebut, dikhawatirkan barang-barang yang digunakan akan cepat rusak. Begitulah Allah Swt. menurunkan Kitab Suci-Nya, al-Qur’ān, agar manusia terbebas dari kerusakan, baik yang bersifat kerusakan lahir maupun kerusakan batin. 
Namun demikian, masih banyak orang yang mengaku beriman yang belum menjadikan al-Qur’ān dan hadis sebagai pedoman hidupnya. Banyaknya pelanggaran terhadap hukum Islam, seperti pencurian, perampokan, korupsi, perzinaan, dan kemaksiatan lainnya merupakan bukti nyata dari hal-hal tersebut.

Memperkaya Khazanah Peserta Didik 

A. Memahami Al-Qur’ān, Hadis, dan Ijtihād sebagai Sumber Hukum Islam 
Sumber hukum Islam merupakan suatu rujukan, landasan, atau dasar yang utama dalam pengambilan hukum Islam. Hal tersebut menjadi pokok ajaran Islam sehingga segala sesuatu haruslah bersumber atau berpatokan kepadanya. Hal tersebut menjadi pangkal dan tempat kembalinya segala sesuatu. Ia juga menjadi pusat tempat mengalirnya sesuatu. Oleh karena itu, sebagai sumber yang baik dan sempurna, hendaklah ia memiliki sifat dinamis, benar, dan mutlak. Dinamis maksudnya adalah al-Qur’ān dapat berlaku di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Benar artinya al-Qur’ān mengandung kebenaran yang dibuktikan dengan fakta dan kejadian yang sebenarnya. Mutlak artinya al-Qur’ān tidak diragukan lagi kebenarannya serta tidak akan terbantahkan. 

Adapun yang menjadi sumber hukum Islam, yaitu al-Qur’ān, Hadis, dan Ijtihād. 
Al-Qur’ānul Karim 
1. Pengertian al-Qur’ān Dari segi bahasa, al-Qur’ān berasal dari kata qara’a – yaqra’u – qirā’atan – qur’ānan, yang berarti sesuatu yang dibaca atau bacaan. Dari segi istilah, al-Qur’ān adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bahasa Arab, yang sampai kepada kita secara mutawattir, ditulis dalam musḥaf, dimulai dengan surah al-Fātiḥa¥ dan diakhiri dengan surah an-Nās, membacanya berfungsi sebagai ibadah, sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw. dan sebagai hidayah atau petunjuk bagi umat manusia. Allah Swt. berfirman:
2. Kedudukan al-Qur’ān sebagai Sumber Hukum Islam 
Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur’ān memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Al-Qur’ān merupakan sumber utama dan pertama sehingga semua persoalan harus merujuk dan berpedoman kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam al-Qur’ān:


Dalam sebuah hadis yang bersumber dari Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda:
Artinya: “... Amma ba’du wahai sekalian manusia, bukankah aku sebagaimana manusia biasa yang diangkat menjadi rasul dan saya tinggalkan bagi kalian semua ada dua perkara utama/besar, yang pertama adalah kitab Allah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya/ penerang, maka ikutilah kitab Allah (al-Qur’ān) dan berpegang teguhlah kepadanya ... (H.R. Muslim) 

Berdasarkan dua ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa al-Qur’ān adalah kitab yang berisi sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. Al-Qur’ān sumber dari segala sumber hukum baik dalam konteks kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Namun demikian, hukumhukum yang terdapat dalam Kitab Suci al-Qur’ān ada yang bersifat rinci dan sangat jelas maksudnya, dan ada yang masih bersifat umum dan perlu pemahaman mendalam untuk memahaminya.

3. Kandungan Hukum dalam al-Qur’ān 

Para ulama mengelompokkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān ke dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut. 
a. Akidah atau Keimanan Akidah atau keimanan adalah keyakinan yang tertancap kuat di dalam hati. Akidah terkait dengan keimanan terhadap hal-hal yang gaib yang terangkum dalam rukun iman (arkānu imān), yaitu iman kepada Allah Swt. malaikat, kitab suci, para rasul, hari kiamat, dan qada/qadar Allah Swt. 

 b. Syari’ah atau Ibadah Hukum ini mengatur tentang tata cara ibadah baik yang berhubungan langsung dengan al-Khāliq (Pencipta), yaitu Allah Swt. yang disebut ‘ibadah maḥḍah, maupun yang berhubungan dengan sesama makhluknya yang disebut dengan ibadah gairu maḥḍah. Ilmu yang mempelajari tata cara ibadah dinamakan ilmu fikih. 
1) Hukum Ibadah Hukum ini mengatur bagaimana seharusnya melaksanakan ibadah yang sesuai dengan ajaran Islam. Hukum ini mengandung perintah untuk mengerjakan śalat, haji, zakat, puasa, dan lain sebagainya. 
2) Hukum Mu’amalah Hukum ini mengatur interaksi antara manusia dan sesamanya, seperti hukum tentang tata cara jual-beli, hukum pidana, hukum perdata, hukum warisan, pernikahan, politik, dan lain sebagainya.

c. Akhlak atau Budi Pekerti Selain berisi hukum-hukum tentang akidah dan ibadah, al-Qur’ān juga berisi hukum-hukum tentang akhlak. Al-Qur’ān menuntun bagaimana seharusnya manusia berakhlak atau berperilaku, baik berakhlak kepada Allah Swt., kepada sesama manusia, dan akhlak terhadap makhluk Allah Swt. yang lain. Pendeknya, berakhlak adalah tuntunan dalam hubungan antara manusia dengan Allah Swt. hubungan antara manusia dan manusia dan hubungan manusia dengan alam semesta. Hukum ini tecermin dalam konsep perbuatan manusia yang tampak, mulai dari gerakan mulut (ucapan), tangan, dan kaki.

Hadis atau Sunnah 

1. Pengertian Hadis atau Sunnah 

Secara bahasa, hadis berarti perkataan atau ucapan. Menurut istilah, hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Hadis juga dinamakan sunnah. Namun demikian, ulama hadis membedakan hadis dengan sunnah. 

Hadis adalah ucapan atau perkataan Rasulullah saw., sedangkan sunnah adalah segala apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menjadi sumber hukum Islam. Hadis dalam arti perkataan atau ucapan Rasulullah saw. terdiri atas beberapa bagian yang saling terkait satu sama lain. Bagian-bagian hadis tersebut antara lain sebagai berikut. 
a. Sanad, yaitu sekelompok orang atau seseorang yang menyampaikan hadis dari Rasulullah saw. sampai kepada kita sekarang ini. 
b. Matan, yaitu isi atau materi hadis yang disampaikan Rasulullah saw. 
c. Rawi, yaitu orang yang meriwayatkan hadis.

2. Kedudukan Hadis atau Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam 

Sebagai sumber hukum Islam, hadis berada satu tingkat di bawah al-Qur’ān. Artinya, jika sebuah perkara hukumnya tidak terdapat di dalam al-Qur’ān, yang harus dijadikan sandaran berikutnya adalah hadis tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt:

Sekarang, kamu sudah paham tentang peran penting hadis sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’ān, bukan? Mari kita lihat kedudukan hadis terhadap sumber hukum Islam pertama, yaitu al-Qur’ān. 

 3. Fungsi Hadis terhadap al-Qur’ān 

Rasulullah saw. sebagai pembawa risalah Allah Swt. bertugas menjelaskan ajaran yang diturunkan Allah Swt. melalui al-Qur’ān kepada umat manusia. Oleh karena itu, hadis berfungsi untuk menjelaskan (bayan) serta menguatkan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān. 

Fungsi hadis terhadap al-Qur’ān dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu sebagai berikut. 

a. Menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ān yang masih bersifat umum 

Contohnya adalah ayat al-Qur’ān yang memerintahkan śalat. Perintah śalat dalam al-Qur’ān masih bersifat umum sehingga diperjelas dengan hadis-hadis Rasulullah saw. tentang śalat, baik tentang tata caranya maupun jumlah bilangan raka’at-nya. Untuk menjelaskan perintah śalat tersebut, misalnya keluarlah sebuah hadis yang berbunyi, “Śalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku śalat”. (H.R. Bukhari)

b. Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-Qur’ān Seperti dalam al-Qur’ān terdapat ayat yang menyatakan, “Barangsiapa di antara kalian melihat bulan, maka berpuasalah!” Kemudian ayat tersebut diperkuat oleh sebuah hadis yang berbunyi, “... berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya ...” (H.R. Bukhari dan Muslim) 

c. Menerangkan maksud dan tujuan ayat yang ada dalam al-Qur’ān Misal, dalam Q.S. at-Taubah/9:34 dikatakan, “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah Swt., gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih!” Ayat ini dijelaskan oleh hadis yang berbunyi, “Allah Swt. tidak mewajibkan zakat kecuali supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati.” (H.R. Baihaqi) 

d. Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’ān Maksudnya adalah bahwa jika suatu masalah tidak terdapat hukumnya dalam al-Qur’ān, diambil dari hadis yang sesuai. Misalnya, bagaimana hukumnya seorang laki-laki yang menikahi saudara perempuan istrinya. Hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadis Rasulullah saw.:

4. Macam-Macam Hadis 

Ditinjau dari segi perawinya, hadis terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut. 

a. Hadis Mutawattir 

Hadis mutawattir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi, baik dari kalangan para sahabat maupun generasi sesudahnya dan dipastikan di antara mereka tidak bersepakat dusta. Contohnya adalah hadis yang berbunyi:

b. Hadis Masyhur 

Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih yang tidak mencapai derajat mutawattir, namun setelah itu tersebar dan diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’³n sehingga tidak mungkin bersepakat dusta. Contoh hadis jenis ini adalah hadis yang artinya, “Orang Islam adalah orang-orang yang tidak mengganggu orang lain dengan lidah dan tangannya.” (H.R. Bukhari, Muslim dan Tirmizi) 

c. Hadis Aĥad 

Hadis aḥad adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi, sehingga tidak mencapai derajat mutawattir. Dilihat dari segi kualitas orang yang meriwayatkannya (perawi), hadis dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu sebagai berikut. 

1) Hadis Śaḥiḥ adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya, tajam penelitiannya, sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw., tidak tercela, dan tidak bertentangan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya. Hadis ini dijadikan sebagai sumber hukum dalam beribadah (hujjah). 

2) Hadis Ḥasan, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang kuat hafalannya, sanadnya bersambung, tidak cacat, dan tidak bertentangan. Sama seperti hadis śaḥiḥ, hadis ini dijadikan sebagai landasan mengerjakan amal ibadah. 

3) Hadis da’īf, yaitu hadis yang tidak memenuhi kualitas hadis śaḥīiḥ dan hadis Ḥasan. Para ulama mengatakan bahwa hadis ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, tetapi dapat dijadikan sebagai motivasi dalam beribadah. 

4) Hadis Maudu’, yaitu hadis yang bukan bersumber kepada Rasulullah saw. atau hadis palsu. Dikatakan hadis padahal sama sekali bukan hadis. Hadis ini jelas tidak dapat dijadikan landasan hukum, hadis ini tertolak.

Ijtihād sebagai upaya memahami al-Qur’ān dan Hadis 

1. Pengertian Ijtihād 

Kata ijtihād berasal bahasa Arab ijtahada-yajtahidu-ijtihādan yang berarti mengerahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga, atau bekerja secara optimal. Secara istilah, ijtihād adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum. Orang yang melakukan ijtihād dinamakan mujtahid. 

2. Syarat-Syarat berijtihād 

Karena ijtihād sangat bergantung pada kecakapan dan keahlian para mujtahid, dimungkinkan hasil ijtihād antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda hukum yang dihasilkannya. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat melakukan ijtihād dan menghasilkan hukum yang tepat. Berikut beberapa syarat yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan ijtihād. 
a. Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam. 
b. Memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih, dan tarikh (sejarah). 
c. Memahami cara merumuskan hukum (istinbaţ). 
d. Memiliki keluhuran akhlak mulia. 

3. Kedudukan Ijtihād 

Ijtihād memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah alQur’ān dan hadis. Ijtihād dilakukan jika suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur’ān dan hadis. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihād tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’ān maupun hadis. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
Rasulullah saw. juga mengatakan bahwa seseorang yang berijtihād sesuai dengan kemampuan dan ilmunya, kemudian ijtihādnya itu benar, maka ia mendapatkan dua pahala, Jika kemudian ijtihādnya itu salah maka ia mendapatkan satu pahala. Hal tersebut ditegaskan melalui sebuah hadis:



4. Bentuk-Bentuk Ijtihād 

Ijtihād sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu sebagai berikut.

a. Ijma’ 
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihād dalam memutuskan suatu perkara atau hukum. Contoh ijma’ di masa sahabat adalah kesepakatan untuk menghimpun wahyu Ilahi yang berbentuk lembaran-lembaran terpisah menjadi sebuah mus¥af al-Qur’ān yang seperti kita saksikan sekarang ini. 

b. Qiyas 
Qiyas adalah mempersamakan/menganalogikan masalah baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’ān atau hadis dengan yang sudah terdapat hukumnya dalam al-Qur’ān dan hadis karena kesamaan sifat atau karakternya. Contoh qiyas adalah mengharamkan hukum minuman keras selain khamr seperti brendy, wisky, topi miring, vodka, dan narkoba karena memiliki kesamaan sifat dan karakter dengan khamr, yaitu memabukkan. Khamr dalam al-Qur’ān diharamkan, sebagaimana firman Allah Swt:


c. Maślaĥah 

Mursalah Maślaḥah mursalah artinya penetapan hukum yang menitikberatkan pada kemanfaatan suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal terhadap syari’at Islam. Misalkan, seseorang wajib mengganti atau membayar kerugaian atas kerugian kepada pemilik barang karena kerusakan di luar kesepakatan yang telah ditetapkan. 

Pembagian Hukum Islam Para ulama membagi hukum Islam ke dalam dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i. Hukum taklifi adalah tuntunan Allah Swt. yang berkaitan dengan perintah dan larangan. Hukum wad’i adalah perintah Allah Swt. yang merupakan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu.

Hukum Taklifi 

Hukum taklifi terbagi ke dalam lima bagian, yaitu sebagai berikut. 

a. Wajib (farḍu), yaitu aturan Allah Swt. yang harus dikerjakan, dengan konsekuensi bahwa jika dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan akan berakibat dosa. Pahala adalah sesuatu yang akan membawa seseorang kepada kenikmatan (surga), sedangkan dosa adalah sesuatu yang akan membawa seseorang ke dalam kesengsaraan (neraka). Misalnya, perintah wajib śalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya. 

b. Sunnah (mandub), yaitu tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan dengan konsekuensi jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan karena berat untuk melakukannya tidaklah berdosa. Misalnya ibadah śalat rawatib, puasa Senin-Kamis, dan sebagainya. 

c. Haram (taḥrim), yaitu larangan untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau perbuatan. Konsekuesinya adalah jika larangan tersebut dilakukan akan mendapatkan pahala, dan jika tetap dilakukan akan mendapatkan dosa dan hukuman. Akibat yang ditimbulkan dari mengerjakan larangan Allah Swt. ini dapat langsung mendapat hukuman di dunia, ada pula yang dibalasnya di akhirat kelak. Misalnya larangan meminum minuman keras/narkoba/khamr, larangan berzina, larangan berjudi, dan sebagainya.

d. Makruh (Karahah), yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Makruh artinya sesuatu yang dibenci atau tidak disukai. Konsekuensi hukum ini adalah jika dikerjakan tidaklah berdosa, akan tetapi jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Misalnya, mengonsumsi makanan yang beraroma tidak sedap karena zatnya atau sifatnya. 

e. Mubaḥ (al-Ibaḥaḥ), yaitu sesuatu yang boleh untuk dikerjakan dan boleh untuk ditinggalkan. Tidaklah berdosa dan berpahala jika dikerjakan ataupun ditinggalkan. Misalnya makan roti, minum susu, tidur di kasur, dan sebagainya.

Pesan-Pesan Mulia 
Bacalah kisah berikut! 

Umar bin Khaṭṭab keluar dari rumahnya bermaksud membunuh Nabi Muhammad saw. yang dinilainya telah memecah-belah masyarakat serta merendahkan sesembahan leluhur. Dalam perjalanannya mencari Nabi, ia bertemu dengan seseorang yang menanyakan tujuannya. Orang itu kemudian berkata, “Tidak usah Muhammad saw. yang kaubunuh, adikmu yang telah mengikutinya (masuk Islam), yang lebih wajar engkau urus.” Umar kemudian menemui adiknya, Fatimah, yang sedang bersama suaminya membaca lembaran ayat-ayat al-Qur’ān. Ditamparnya sang adik hingga bercucuran darah dari wajahnya. Diperlakukan seperti itu, Fatimah tidaklah gentar, ia bahkan balik menantang saudara laki-lakinya tersebut. “Memang benar kami telah memeluk Islam dan telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Berbuatlah sekehendakmu!” 

Mendengar suara adik kesayangannya tersebut, hati umar tersentuh. Ia menyesali perbuatan kasar terhadap saudara perempuannya. Umar lalu berkata, “Berikan kepadaku lembaran ayat-ayat yang kalian baca itu! Aku ingin mengetahui ajaran yang dibawa oleh Muhammad.”

“Wahai saudaraku!” kata Fatimah dengan lembut. “Engkau adalah kotor karena engkau orang musyrik, sedangkan al-Qur’ān tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang telah suci.” Mendengar kata-kata adiknya tersebut, Umar segera bergegas untuk bersuci. Kemudian Fatimah menyerahkan lembaran ayat-ayat al-Qur’ān surah Ţāhā. Setelah selesai membacanya, Umar berkata, “Alangkah indah dan agungnya kalimat-kalimat ini!” Umar pun kemudian segera mencari Rasulullah saw. untuk menyatakan keislamannya.

Menerapkan Perilaku 

Mulia Perilaku mulia dari pemahaman terhadap al-Qur’ān, hadis, dan ijtihād sebagai sumber hukum Islam tergambar dalam aktivitas sebagai berikut.  
1. Gemar membaca dan mempelajari al-Qur’ān dan hadis baik ketika sedang sibuk ataupun santai.  
2. Berusaha sekuat tenaga untuk merealisasikan ajaran-ajaran al-Qur’ān dan hadis.  
3. Selalu mengkonfirmasi segala persoalan yang dihadapi dengan merujuk kepada al-Qur’ān dan hadis, baik dengan mempelajari sendiri atau bertanya kepada yang ahli di bidangnya.
4. Mencintai orang-orang yang senantiasa berusaha mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur’ān dan Sunnah.  
5. Kritis terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi dengan terus-menerus berupaya agar tidak keluar dari ajaran-ajaran al-Qur’ān dan Sunnah.  
6. Membiasakan diri berpikir secara rasional dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur’ān dan hadis. 7. Aktif bertanya dan berdiskusi dengan orang-orang yang dianggap memiliki keahlian agama dan berakhlak mulia.  
8. Berhati-hati dalam bertindak dan melaksanakan sesuatu, apakah hal tersebut boleh dikerjakan ataukah hal tersebut boleh ditinggalkan.  
9. Selalu berusaha keras untuk mengerjakan segala kewajiban serta meninggalkan dan menjauhi segala larangan. 
10. Membiasakan diri untuk mengerjakan ibadah-ibadah sunnah sebagai upaya untuk menyempurnakan ibadah wajib karena khawatir belum sempurna.

Rangkuman 
1. Al-Qur’ān adalah kalam Allah Swt. (wahyu) yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril dan diajarkan kepada umatnya, dan membacanya merupakan ibadah. 
2. Hadis atau sunnah adalah segala ucapan atau perkataan, perbuatan, serta ketetapan (taqrir) Nabi Muhammad saw. yang terlepas dari hawa nafsu dan perkara-perkara tercela. 
3. Al-Qur’ān adalah sumber hukum utama selain sebagai kitab suci. Oleh karena itu, semua ketentuan hukum yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān. 
4. Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’ān. Dengan demikian, hadis memiliki fungsi yang sangat penting dalam hukum Islam. Di antara fungsi hadis, yaitu untuk menegaskan ketentuan yang telah ada dalam al-Qur’ān, menjelaskan ayat al-Qur’ān (bayan tafsir), dan menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ān yang bersifat umum (bayan takhśiś). 
5. Ijtihād artinya bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan. Ijtihād, yaitu upaya sungguh-sungguh mengerahkan segenap kemampuan akal untuk mendapatkan hukum-hukum syari’at pada masalah-masalah yang tidak ada nashnya. Ijtihād dilakukan dengan mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ atau ketentuan hukum yang bersifat operasional dengan mengambil kesimpulan dari prinsip dan aturan yang telah ada dalam al-Qur’ān dan Sunnah Nabi Muhammad saw. 6. Bersikap rasional, kritis, dan logis dalam beragama berarti selalu menanyakan landasan dan dasar (dalil) atas setiap amalan keagamaan yang dilakukan. Dengan cara ini, seseorang akan dapat terbebas dari taqlid. Lawan taqlid adalah ittiba,’ yaitu melaksanakan amalan-amalan keagamaan dengan mengetahui landasan dan dasarnya (dalil).
7. Merealisasikan dan menerapkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan akan membawa manfaat besar bagi manusia. Semua aturan atau hukum yang bersumber dari Allah Swt. dan Rasul-Nya merupakan suatu aturan yang dapat membawa kemasla¥atan hidup di dunia dan akhirat. 

Evaluasi 

A. Uji Pemahaman Jelaskan pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jelas. 
1. Jelaskan istilah tentang pengertian al-Qur’ān dan hadis. 
2. Apakah yang dimaksud dengan hadis mutawatir, hadis masyhur, dan hadis aḥad? 
3. Jelaskan syarat-syarat berijtihād menurut Yusuf al-Qaradawi. 
4. Sebutkan dan jelaskan macam-macam hukum taklifi. 
5. Perlukah ijtihād dilakukan saat ini? Jelaskan dengan alasan yang tepat.

B. Refleksi Berilah tanda checklist (v) yang sesuai dengan dorongan hatimu dalam menanggapi pernyataan-pernyataan berikut ini.









Sabtu, 21 November 2020

MATERI PAI KELAS X BAB III


Membuka Relung Hati 

Cermati gambar dan wacana berikut. 

Kisah menarik berikut ini mungkin dapat menginspirasi dan memotivasi kita agar selalu mempertahankan kejujuran dalam segala kondisi. Simaklah kisahnya sebagai berikut. Suatu ketika seorang sahabat Rasulullah saw. yang bernama Wasilah bin Iqsa sedang berada di pasar ternak. Tiba-tiba saja ia menyaksikan seseorang tengah menawar unta. Ketika ia lengah, pembeli itu telah menuntun unta yang telah dibelinya dengan harga 300 dirham. Wasilah bergegas mendapatkan si pembeli tersebut seraya bertanya, “Apakah unta yang engkau beli itu unta untuk disembelih atau sebagai tunggangan?” Si pembeli menjawab, “Unta ini untuk dikendarai.” Kemudian Wasilah memberikan nasihat bahwa unta tersebut tidak akan tahan lama karena di kakinya ada lubang karena cacat. Pembeli itu pun bergegas kembali menemui si penjual dan menggugat, sehingga akhirnya terjadi pengurangan harga 100 dirham. Si penjual merasa jengkel kepada Wasilah seraya mengatakan, “Semoga engkau dikasihi Allah Swt., dan jual-beliku telah engkau rusak.” Mendengar ucapan tersebut, Wasilah menimpalinya, “Kami sudah berbai’at kepada Rasulullah saw. untuk berlaku jujur kepada setiap muslim, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, ‘Tiada halal bagi siapa pun yang menjual barangnya kecuali dengan menjelaskan cacatnya, dan tiada halal bagi yang mengetahui itu kecuali menjelaskannya.’ (H.R. Hakim, Baihaki, dan Muslim dari Wasilah).” Itulah nilai-nilai kejujuran, walaupun berisiko, namun tetap harus dijunjung tinggi dalam kehidupan. Kejujuran itu sangat mudah diucapkan oleh setiap orang, tetapi sedikit sekali yang dapat menerapkannya.

Mengkritisi Sekitar Kita 

Cermati gambar dan wacana berikut.

Berbagai cara dilakukan oleh sebagian orang untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya. Ada yang melakukannya dengan memotivasi diri dengan bekerja keras dan menaati aturan yang ada. Tentu hal tersebut merupakan caracara yang memang seharusnya ditempuh. Akan tetapi, tidak sedikit orang yang menempuh cara-cara yang bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku, baik hukum agama maupun peraturan yang berlaku yang dibuat oleh pemerintah. Mereka jauh dari nilai-nilai kejujuran. Bagi mereka, cara apa pun boleh yang penting tujuannya tercapai.

Berani jujur hebat! Kalimat tersebut adalah sebuah slogan yang marak disuarakan oleh para aktivis antikorupsi untuk mendukung kerja Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dalam menjalankan tugasnya “menangkap” para koruptor. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa, semenjak dibentuknya KPK, sudah banyak penjahat “kerah putih” yang menggerogoti uang rakyat dengan cara licik dan kejam. Mereka sudah memperoleh jabatan yang tinggi dengan segenap fasilitas yang diberikan negara, tetapi masih saja melakukan praktikpraktik kotor dengan cara memanipulasi, melambungkan harga belanja barang, laporan keuangan fiktif, dan sebagainya. Namun demikian, tidak semua pejabat berperilaku seperti itu. Banyak di antara pejabat di negeri ini yang masih memiliki hati nurani dengan berperilaku jujur dan amanah. Mereka hidup bersahaja dengan penghasilan yang sah diberikan oleh negara.


Memperkaya Khazanah Peserta Didik 

A. Memahami Makna Kejujuran 

1. Pengertian Jujur Dalam bahasa Arab, kata jujur semakna dengan “aś-śidqu” atau “śiddiq” yang berarti benar, nyata, atau berkata benar. Lawan kata ini adalah dusta, atau dalam bahasa Arab ”al-ka©ibu”. Secara istilah, jujur atau aś-śidqu bermakna 

(1) kesesuaian antara ucapan dan perbuatan; 

(2) kesesuaian antara informasi dan kenyataan; 

(3) ketegasan dan kemantapan hati; dan 

 (4) sesuatu yang baik yang tidak dicampuri kedustaan.

2. Pembagian Sifat Jujur 

Imam al-Gazali membagi sifat jujur atau benar (śiddiq) sebagai berikut. 

a. Jujur dalam niat atau berkehendak, yaitu tiada dorongan bagi seseorang dalam segala tindakan dan gerakannya selain dorongan karena Allah Swt. 

 b. Jujur dalam perkataan (lisan), yaitu sesuainya berita yang diterima dengan yang disampaikan. Setiap orang harus dapat memelihara perkataannya. Ia tidak berkata kecuali dengan jujur. Barangsiapa yang menjaga lidahnya dengan cara selalu menyampaikan berita yang sesuai dengan fakta yang sebenarnya, ia termasuk jujur jenis ini. Menepati janji termasuk jujur jenis ini. 

c. Jujur dalam perbuatan/amaliah, yaitu beramal dengan sungguh-sungguh sehingga perbuatan żahirnya tidak menunjukkan sesuatu yang ada dalam batinnya dan menjadi tabiat bagi dirinya. Kejujuran merupakan fondasi atas tegaknya suatu nilai-nilai kebenaran, karena jujur identik dengan kebenaran. Allah Swt. berfirman:

Orang yang beriman perkataannya harus sesuai dengan perbuatannya karena sangat berdosa besar bagi orang-orang yang tidak mampu menyesuaikan perkataannya dengan perbuatan, atau berbeda apa yang di lidah dan apa yang diperbuat. Allah Swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Q.S. aś-Śaff/61:2-3) 

Pesan moral ayat tersebut tidak lain memerintahkan satunya perkataan dengan perbuatan. Dosa besar di sisi Allah Swt., mengucapkan sesuatu yang tidak disertai dengan perbuatannya. Perilaku jujur dapat menghantarkan pelakunya menuju kesuksesan dunia dan akhirat. Bahkan, sifat jujur adalah sifat yang wajib dimiliki oleh setiap nabi dan rasul. Artinya, orang-orang yang selalu istiqamah atau konsisten mempertahankan kejujuran, sesungguhnya ia telah memiliki separuh dari sifat kenabian. 

Jujur adalah sikap yang tulus dalam melaksanakan sesuatu yang diamanatkan, baik berupa harta maupun tanggung jawab. Orang yang melaksanakan amanat disebut al-Amin, yakni orang yang terpercaya, jujur, dan setia. Dinamakan demikian karena segala sesuatu yang diamanatkan kepadanya menjadi aman dan terjamin dari segala bentuk gangguan, baik yang datang dari dirinya sendiri maupun dari orang lain. Sifat jujur dan terpercaya merupakan sesuatu yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan, seperti dalam kehidupan rumah tangga, perniagaan, perusahaan, dan hidup bermasyarakat. 

Di antara faktor yang menyebabkan Nabi Muhammad saw. berhasil dalam membangun masyarakat Islam adalah karena sifat-sifat dan akhlaknya yang sangat terpuji. Salah satu sifatnya yang menonjol adalah kejujurannya sejak masa kecil sampai akhir hayatnya, sehingga ia mendapat gelar al-Amin (orang yang dapat dipercaya atau jujur). 

Kejujuran akan mengantarkan seseorang mendapatkan cinta kasih dan keridaan Allah Swt. Kebohongan adalah kejahatan tiada tara, yang merupakan faktor terkuat yang mendorong seseorang berbuat kemunkaran dan menjerumuskannya ke jurang neraka. 

Kejujuran sebagai sumber keberhasilan, kebahagian, serta ketenteraman, harus dimiliki oleh setiap muslim. Bahkan, seorang muslim wajib pula menanamkan nilai kejujuran tersebut kepada anak-anaknya sejak dini hingga pada akhirnya mereka menjadi generasi yang meraih sukses dalam mengarungi kehidupan. Adapun kebohongan adalah muara dari segala keburukan dan sumber dari segala kecaman akibat yang ditimbulkannya adalah kejelekan, dan hasil akhirnya adalah kekejian. Akibat yang ditimbulkan oleh kebohongan adalan namimah (mengadu domba), sedangkan namimah dapat melahirkan kebencian. Demikian pula kebencian adalah awal dari permusuhan. Dalam permusuhan tidak ada keamanan dan kedamaian. Dapat dikatakan bahwa, “orang yang sedikit kejujurannya niscaya akan sedikit temannya.” 

Contoh Bukti Kejujuran Nabi Muhammad saw. 

Ketika Nabi Muhammad saw. hendak memulai dakwah secara terbuka dan terang-terangan, langkah pertama yang dilakukan, Rasulullah saw. berdiri di atas bukit, kemudian memanggil-manggil kaum Quraisy untuk berkumpul, “Wahai kaum Quraisy, kemarilah kalian semua. Aku akan memberikan sebuah berita kepada kalian semua!” Mendengar panggilan lantang dari Rasulullah saw., berduyun-duyunlah kaum Quraisy berdatangan, berkumpul untuk mendengarkan berita dari manusia jujur penuh pujian. Setelah masyarakat berkumpul dalam jumlah besar, beliau tersenyum kemudian bersabda, “Saudara-saudaraku, jika aku memberi kabar kepadamu, jika di balik bukit ini ada musuh yang sudah siaga hendak menyerang kalian, apakah kalian semua percaya?” Tanpa ragu semuanya menjawab mantap, “Percaya!” Kemudian, Rasulullah kembali bertanya, “Mengapa kalian langsung percaya tanpa membuktikannya terlebih dahulu?” Tanpa ragu-ragu orang yang hadir di sana kembali menjawab mantap, “Engkau sekalipun tidak pernah berbohong, wahai al-Amin. Engkau adalah manusia yang paling jujur yang kami kenal.”


B. Ayat-Ayat Al-Qur’ān dan Hadis tentang Perintah Berlaku Jujur 

1. Q.S. al-Māidah/5:8

2. Q.S. at-Taubah/9:119

Kandungan Q.S. al-Māidah/5:8 

Ayat ini memerintahkan kepada orang mukmin agar melaksanakan amal dan pekerjaan mereka dengan cermat, jujur, dan ikhlas karena Allah Swt., baik pekerjaan yang bertalian dengan urusan agama maupun pekerjaan yang bertalian dengan urusan kehidupan duniawi. Karena hanya dengan demikianlah mereka dapat sukses dan memperoleh hasil balasan yang mereka harapkan. Dalam persaksian, mereka harus adil menerangkan apa yang sebenarnya, tanpa memandang siapa orangnya, sekalipun akan menguntungkan lawan dan merugikan sahabat dan kerabatnya sendiri. Ayat ini seirama dengan Q.S. an-Nisā/4:153, yaitu sama-sama menerangkan tentang seorang yang berlaku adil dan jujur dalam persaksian. Perbedaannya ialah dalam ayat tersebut diterangkan kewajiban berlaku adil dan jujur dalam persaksian walaupun kesaksian itu akan merugikan diri sendiri, ibu, bapak, dan kerabat. Selanjutnya, dalam ayat ini diterangkan bahwa kebencian terhadap sesuatu kaum tidak boleh mendorong seseorang untuk memberikan persaksian yang tidak adil dan tidak jujur, walaupun terhadap lawan. 

Menurut Ibnu Kașir, maksud ayat di atas adalah agar orang-orang yang beriman menjadi penegak kebenaran karena Allah Swt., bukan karena manusia atau karena mencari popularitas. Mereka dapat menjadi saksi dengan adil dan tidak curang, jangan pula kebencian kepada suatu kaum menjadikan kalian berbuat tidak adil terhadap mereka, Terapkanlah keadilan itu kepada setiap orang, baik teman ataupun musuh karena sesungguhnya perbuatan adil menghantarkan pelakunya memperoleh derajat takwa. 

Terkait dengan menjadi saksi dengan adil, ditegaskan dari Nu’man bin Basyir, “Ayahku pernah memberiku suatu hadiah. Kemudian ibuku, ‘Amrah binti Rawahah, berkata, ‘Aku tidak rela sehingga engkau mempersaksikan hadiah itu kepada Rasulullah saw. Kemudian, ayahku mendatangi beliau dan meminta beliau menjadi saksi atas hadiah itu. Kemudian Rasulullah saw. pun bersabda:


Kandungan Q.S. at-Taubah/9:119

Dalam ayat ini, Allah Swt. menunjukkan seruan-Nya dan memberikan bimbingan kepada orang-orang yang beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya. Mereka diharapkan tetap dalam ketakwaan serta mengharapkan rida-Nya, dengan cara menunaikan segala kewajiban yang telah ditetapkan-Nya, dan menjauhi segala larangan yang telah ditentukan-Nya, dan hendaklah senantiasa bersama orang-orang yang benar dan jujur, mengikuti ketakwaan, kebenaran dan kejujuran mereka. Dan jangan bergabung kepada kaum munafik, yang selalu menutupi kemunafikan mereka dengan kata-kata dan perbuatan bohong serta ditambah pula dengan sumpah palsu dan alasan-alasan yang tidak benar.

3. Hadis dari Abdullah bin Mas’ud ra.


Kandungan Hadis 

Dalam sebuah hadis panjang yang berasal dari Syihab diceritakan bahwa ketika Rasulullah saw. akan melakukan gazwah (penyerangan) ke Tabuk untuk menyerang tentara Romawi dan orang-orang Kristen di Syam, salah seorang sahabat yang bernama Ka’ab bin Malik mangkir dari pasukan perang. Ka’ab menceritakan bahwa mangkirnya ia dari peperangan tersebut bukan karena sakit ataupun ada suatu masalah tertentu. Menurutnya, hari itu justru ia sedang dalam kondisi prima dan lebih prima dari hari-hari sebelumnya. Tetapi entah mengapa ia merasa enggan untuk bergabung bersama pasukan Rasulullah saw. sampai akhirnya ia ditinggalkan oleh pasukan Rasulullah saw. Sekembalinya pasukan Rasulullah saw. ke Madinah, ia pun bergegas menemui Rasulullah saw. dan berkata jujur tentang apa yang ia lakukan. Akibatnya, Rasul menjadi murka, begitu pula sahabat-sahabat lainnya. Ia pun dikucilkan bahkan diperlakukan seperti bukan orang Islam, sampai-sampai Rasulullah saw. memerintahkannya untuk berpisah dengan istrinya. Setelah lima puluh hari berselang, turunlah wahyu kepada Rasulullah saw. yang menjelaskan bahwa Allah Swt. telah menerima taubat Ka’ab dan dua orang lainnya. Allah Swt. benarbenar telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anśar yang mengikutinya dalam saat-saat sulit setelah hingga saja hati sebagian mereka bermasalah. Kemudian, Allah Swt. menerima taubat mereka dan taubat tiga orang yang mangkir dari jihad sampai-sampai mereka merasa sumpek dan menderita. Sesungguhnya Allah Swt. Maha Pengasih dan Penyayang.

Ketika ia diberi kabar gembira bahwa Allah Swt. telah menerima taubatnya, dan Rasulullah saw. telah memaafkannya, Ka’ab berkata, “Demi Allah Swt. tidak ada nikmat terbesar dari Allah Swt. setelah nikmat hidayah Islam selain kejujuranku kepada Rasulullah saw. dan ketidakbohonganku kepada beliau, sehingga saya tidak binasa seperti orang-orang yang berdusta, sesungguhnya Allah Swt. berkata tentang mereka yang berdusta dengan seburuk-buruk perkataan.

Pesan-Pesan Mulia 

Jujur Meskipun dalam Canda 

Siapa yang meragukan kejujuran Rasulullah saw.? Ia adalah manusia yang sangat terpercaya. Hal tersebut diakui oleh orang-orang yang memusuhinya sekalipun, seperti Abu Jahal dan lainnya. Kejujuran Rasulullah saw. tidak hanya ketika serius berbicara, ketika bercanda pun ia tidak pernah meninggalkan kejujurannya. Bagaimana ia jujur dalam bercanda? Simak kisahnya berikut ini. 1. Naik Anak Unta Seorang datang kepada Nabi Muhammad saw. dan meminta kepada Nabi untuk dinaikkan kendaraan. “Aku akan naikkan kamu pada anak unta.” Laki-laki itu heran seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat dengan anak unta?” Rasulullah menjawab, “Tidakkah unta hanya melahirkan anak unta?” (Maksudnya, bukankah anak unta itu juga unta dewasa). 2. Seorang nenek-nenek mendatangi Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, doakanlah agar memasukkan aku ke dalam surga.” Rasulullah saw. menjawab, “Wahai Ummu Fulan, sesungguhnya wanita tua tidak akan masuk ke dalam surga.” Maka, perempuan tua itu berpaling dan menangis. Rasulullah kemudian bersabda, “Beri tahu ia tidak akan masuk surga dalam keadaan tua. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan.” (Q.S. al-Wāqi’ah/56:35-36).

Menerapkan Perilaku Mulia 

Jujur adalah perilaku yang sangat mulia. Jujur adalah sifat yang wajib dimiliki oleh para nabi dan rasul Allah Swt. sehingga separuh gelar kenabian akan disandangkan kepada orang-orang yang senantiasa menerapkan perilaku jujur. Penerapan perilaku jujur dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat misalnya seperti berikut.  

1. Meminta izin atau berpamitan kepada orang tua ketika akan pergi ke mana pun.  

2. Tidak meminta sesuatu di luar kemampuan kedua orang tua.  

3. Mengembalikan uang sisa belanja meskipun kedua orang tua tidak mengetahuinya.  

4. Melaporkan prestasi hasil belajar kepada orang tua meskipun dengan nilai yang kurang memuaskan.

 5. Tidak memberi atau meminta jawaban kepada teman ketika sedang ulangan atau ujian sekolah.  

6. Mengatakan dengan sejujurnya alasan keterlambatan datang atau ketidakhadiran ke sekolah.  

7. Mengembalikan barang-barang yang dipinjam dari teman atau orang lain, meskipun barang tersebut tampak tidak begitu berharga.  

8. Memenuhi undangan orang lain ketika tidak ada hal yang dapat menghalanginya.  

9. Tidak menjanjikan sesuatu yang kita tidak dapat memenuhi janji tersebut.

10. Mengembalikan barang yang ditemukan kepada pemiliknya atau melalui pihak yang bertanggung jawab. 

11. Membayar sesuatu sesuai dengan harga yang telah disepakati. 

Rangkuman 

1. Jujur (aś-śidqu) adalah mengatakan sesuatu sesuai dengan kenyataan, sedangkan dusta (al-każibu) adalah mengatakan sesuatu tidak sesuai dengan kenyataan. 

 2. Kejujuran merupakan petunjuk dan jalan menuju surga Allah Swt., sedangkan dusta adalah petunjuk dan jalan menuju neraka. 

3. Jujur adalah sifat para nabi dan rasul Allah Swt., sedangkan bohong atau dusta adalah ciri atau sifat orang-orang munafik. 

4. Kejujuran akan menciptakan ketenangan, kedamaian, keselamatan, kesejahteraan, dan kenikmatan lahir batin baik di dunia maupun di akhirat kelak. Sementara, kedustaan menimbulkan kegoncangan, kegelisahan, konflik sosial, kekacauan, kehinaan, dan kesengsaraan lahir dan batin baik di dunia apalagi di akhirat. 

5. Diperbolehkan dusta hanya untuk tiga hal saja, yaitu ketika seorang istri memuji suaminya atau sebaliknya. Ketika seseorang yang akan mencelakai orang yang tidak bersalah dengan mengatakan bahwa orang yang dicari tidak ada. Ketika ucapan dusta untuk mendamaikan dua orang yang sedang bertikai agar damai dan rukun kembali.

Evaluasi 

A. Uji Pemahaman Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jelas. 

1. Tulislah salah satu ayat yang berhubungan dengan kejujuran lengkap dengan artinya. 

2. Tulislah salah satu hadis tentang perilaku jujur lengkap dengan artinya. 

3. Tuliskan beberapa keuntungan di dunia sebagai buah dari perilaku jujur. 

4. Sebutkan sikap yang harus ditunjukkan agar terhindar dari perilaku dusta. 

5. Tuliskan 3 (tiga) dampak negatif akibat perilaku dusta yang dilakukan

B. Refleksi Berilah tanda checklist (v) yang sesuai dengan dorongan hatimu untuk menanggapi pernyataan-pernyataan berikut ini.





Minggu, 08 November 2020

MATERI PAI KELAS X BAB II


Membuka Relung Hati 

Cermati kisah dan gambar berikut! 

Islam adalah agama yang sempurna yang ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Ajaran Islam mengatur semua urusan manusia agar terwujud kehidupan yang aman, nyaman, dan damai. Dalam hal berbusana, Islam mengajarkan bahwa busana memiliki fungsi utama sebagai penutup aurat selain fungsi-fungsi yang lain seperti fungsi sebagai hiasan dan penahan rasa panas atau dingin. Dengan demikian, maka bagi orang-orang yang beriman busana adalah sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan terutama bagi kalangan perempuan. Hal ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi kaum perempuan, terutama di tengah-tengah kepungan budaya modern yang sangat mengesampingkan masalah syari’at agama. Banyak yang beranggapan bahwa urusan busana atau berpakaian adalah urusan “privacy” setiap orang, merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tidak boleh orang lain atau kelompok lain ikut mengatur urusan tersebut. Namun demikian, apapun alasan yang dikemukakan oleh orang-orang tentang ajaran Islam yang satu ini, bagi kita bahwa gaya modern dan gaya yang tidak harus membuka aurat. Tidak ada kaitannya antara modernitas suatu kelompok atau masyarakat dengan busana atau pakaian yang membuka aurat. Dalam hal ini, kita dapat melihat dan meniru bangsa Jepang yang sangat maju dan modern dengan tetap melestarikan budayanya termasuk dalam berpakaian. Dalam konteks berbusana, menutup aurat bukan saja baik dan saran, bahkan para perempuan akan jauh terlihat lebih cantik, anggun dan berwibawa dengan busana yang menutup aurat, Selain itu, pemakainya juga akan terhindar dari fitnah dan perbuatan tidak menyenangkan dari orang yang akan berbuat jahat seperti berbuat seksual. Bukankah timbulnya kejahatan-kejahatan seksual seperti kejahatan pemerkosaan, perzinaan, bahkan pelecehan seksual yang dilakukan di tempat-tempat umum atau keramaian, pemicunya karena tergoda dengan cara berbusana kaum perempuan yang sangat seksi??

Mengkritisi Sekitar Kita 

Cermati wacana dan gambar berikut. 

Tren berbusana muslimah di kalangan perempuan Indonesia beberapa tahun terakhir ini merupakan fenomena yang menggembirakan. Tentu hal ini sangat berbeda dengan kondisi sebelumnya. Semangat perempuan Indonesia untuk mengenakan jilbab hampir dapat dijumpai di semua area publik, baik di lingkungan pemerintahan maupun di lingkungan swasta. Fenomena ini merupakan dampak positif media yang memberikan informasi tentang para aktris atau public figure yang menyadari pentingnya melaksanakan salah satu ajaran Islam mengenai menutup aurat. Namun demikian, jika perilaku berbusana muslimah hanya disebabkan tren dan bukan karena kesadaran keagamaan yang memerintahkan kaum hawa harus menutup aurat, maka dikhawatirkan akan dapat mencederai ajaran Islam itu sendiri. Betapa tidak, banyak dijumpai para perempuan yang secara żahir sudah berbusana secara Islami, tetapi akhlak dan perilakunya belum mencerminkan makna hakiki dari ajaran Islam untuk menutup aurat. Misalnya, masih banyak perempuan berjilbab yang berpacaraan, berboncengan motor dengan orang yang bukan maĥramnya dengan begitu mesra, dan lain sebagainya. Tentu saja hal tersebut sangat tidak sesuai dengan hakekat menutup aurat. Idealnya, para perempuan muslim yang telah berbusana sesuai dengan perintah agama, mampu menampilkan pribadi yang dapat menjadikan contoh bagi orang yang belum memakai busana muslimah. Sebagai renungan bersama, mari diskusikan pernyataan yang sering muncul di tengah-tengah masyarakat, “Lebih baik tidak berjilbab, tetapi sopan pada sesama, menjaga perkataan dusta dan gibah, serta lainnya daripada berjilbab tetapi tidak berakhlak baik pada sesama.” Bagaimana pendapatmu tentang hal tersebut.


Memperkaya Khazanah Peserta Didik 

A. Memahami Makna Busana Muslim/Muslimah dan Menutup Aurat 

1. Makna Aurat Menurut bahasa, aurat berati malu, aib, dan buruk. Kata aurat berasal dari kata awira yang artinya hilang perasaan. Jika digunakan untuk mata, berarti hilang cahayanya dan lenyap pandangannya. Pada umumnya, kata ini memberi arti yang tidak baik dipandang, memalukan, dan mengecewakan. Menurut istilah dalam hukum Islam, aurat adalah batas minimal dari bagian tubuh yang wajib ditutupi karena perintah Allah Swt.

2. Makna Jilbab dan Busana Muslimah 

Secara etimologi, jilbab adalah sebuah pakaian yang longgar untuk menutup seluruh tubuh perempuan kecuali muka dan kedua telapak tangan. Dalam bahasa Arab, jilbab dikenal dengan istilah khimar, dan dalam bahasa Inggris jilbab dikenal dengan istilah veil. Selain kata jilbab untuk menutup bagian dada hingga kepala wanita untuk menutup aurat perempuan, dikenal pula istilah kerudung, ĥijab, dan sebagainya. Pakaian adalah barang yang dipakai (baju, celana, dan sebagainya). Dalam bahasa Indonesia, pakaian juga disebut busana. Jadi, busana muslimah artinya pakaian yang dipakai oleh perempuan. Pakaian perempuan yang beragama Islam disebut busana muslimah. Berdasarkan makna tersebut, busana muslimah dapat diartikan sebagai pakaian wanita Islam yang dapat menutup aurat yang diwajibkan agama untuk menutupinya, gunanya untuk kemaslahatan dan kebaikan bagi wanita itu sendiri serta masyarakat di mana ia berada. Perintah menutup aurat sesungguhnya adalah perintah Allah Swt. yang dilakukan secara bertahap. Perintah menutup aurat bagi kaum perempuan pertama kali diperintahkan kepada istri-istri Nabi Muhammad saw. agar tidak berbuat seperti kebanyakan perempuan pada waktu itu (Q.S. al-Aĥzāb/33: 32-33). Setelah itu, Allah Swt. memerintahkan kepada istri-istri Nabi saw. agar tidak berhadapan langsung dengan laki-laki yang bukan mahramnya (Q.S. al-Aĥzāb/33:53). Selanjutnya, karena istri-istri Nabi Muhammad saw. juga perlu keluar rumah untuk mencari kebutuhan rumah tangganya, maka Allah Swt. memerintahkan mereka untuk menutup aurat apabila hendak keluar rumah (Q.S. al-Aĥzāb/33:59). Dalam ayat ini, Allah Swt. memerintahkan untuk memakai jilbab, bukan hanya kepada istri-istri Nabi Muhammad saw. dan anak-anak perempuannya, tetapi juga kepada istri-istri orangorang yang beriman. Dengan demikian, menutup aurat atau berbusana muslimah adalah wajib hukumnya bagi seluruh wanita yang beriman.

B. Ayat-Ayat Al-Qur’ān dan Hadis tentang Perintah Berbusana Muslim/ Muslimah

Kandungan Q.S. al-Aĥzāb/33:59 

Dalam ayat ini, Rasulullah saw. diperintahkan untuk menyampaikan kepada para istrinya dan juga sekalian wanita mukminah termasuk anak-anak perempuan beliau untuk memanjangkan jilbab mereka dengan maksud agar dikenali dan membedakan dengan perempuan nonmukminah. Hikmah lain adalah agar mereka tidak diganggu. Karena dengan mengenakan jilbab, orang lain mengetahui bahwa dia adalah seorang mukminah yang baik. Pesan al-Qur’ān ini datang menanggapi adanya gangguan kafir Quraisy terhadap para mukminah terutama para istri Nabi Muhammad saw. yang menyamakan mereka dengan budak. Karena pada masa itu, budak tidak mengenakan jilbab. Oleh karena itulah, dalam rangka melindungi kehormatan dan kenyamanan para wanita, ayat ini diturunkan. Islam begitu melindungi kepentingan perempuan dan memperhatikan kenyamanan mereka dalam bersosialisasi. Banyak kasus terjadi karena seorang individu itu sendiri yang tidak menyambut ajakan al-Qur’ān untuk berjilbab. Kita pun masih melihat di sekeliling kita, mereka yang mengaku dirinya muslimah, masih tanpa malu mengumbar auratnya. Padahal Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya rasa malu dan keimanan selalu bergandengan kedua-duanya. Jika salah satunya diangkat, maka akan terangkat kedua-duanya.” (Hadis Saĥiĥ berdasarkan syarah Syeikh Albani dalam kitab Adabul Mufrad). 

Kandungan Q.S. an-Nūr/24:31

Dalam ayat ini, Allah Swt. berfirman kepada seluruh hamba-Nya yang mukminah agar menjaga kehormatan diri mereka dengan cara menjaga pandangan, menjaga kemaluan, dan menjaga aurat. Dengan menjaga ketiga hal tersebut, dipastikan kehormatan mukminah akan terjaga. Ayat ini merupakan kelanjutan dari perintah Allah Swt. kepada hamba-Nya yang mukmin untuk menjaga pandangan dan menjaga kemaluan. Ayat ini Allah Swt. khususkan untuk hamba-Nya yang beriman, berikut penjelasannya. 

Pertama, menjaga pandangan. Pandangan diibaratkan “panah setan” yang siap ditembakkan kepada siapa saja. “Panah setan” ini adalah panah yang jahat yang merusakan dua pihak sekaligus, si pemanah dan yang terkena panah. Rasulullah saw. juga bersabda pada hadis yang lain, “Pandangan mata itu merupakan anak panah yang beracun yang terlepas dari busur iblis, barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah Swt., maka Allah Swt. akan memberinya ganti dengan manisnya iman di dalam hatinya.” (Lafal hadis yang disebutkan tercantum dalam kitab Ad-Da’wa Dawa’ karya Ibnul Qayyim). Panah yang dimaksud adalah pandangan liar yang tidak menghargai kehormatan diri sendiri dan orang lain. Zina mata adalah pandangan haram. Al-Qur’ān memerintahkan agar menjaga pandangan ini agar tidak merusak keimanan karena mata adalah jendela hati. Jika matanya banyak melihat maksiat yang dilarang, hasilnya akan langsung masuk ke hati dan merusak hati. Dalam hal ketidaksengajaan memandang sesuatu yang haram, Rasulullah saw. bersabda kepada Ali ra., “Wahai Ali, janganlah engkau mengikuti pandangan (pertama yang tidak sengaja) dengan pandangan (berikutnya), karena bagi engkau pandangan yang pertama dan tidak boleh bagimu pandangan yang terakhir (pandangan yang kedua)” (H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, di-hasan-kan oleh Syaikh al-Albani).

Kedua, menjaga kemaluan. Orang yang tidak dapat menjaga kemaluannya pasti tidak dapat menjaga pandangannya. Hal ini karena menjaga kemaluan tidak akan dapat dilakukan jika seseorang tidak dapat menjaga pandangannya. Menjaga kemaluan dari zina adalah hal yang sangat penting dalam menjaga kehormatan. Karena dengan terjerumusnya ke dalam zina, bukan hanya harga dirinya yang rusak, orang terdekat di sekitarnya seperti orang tua, istri/suami, dan anak akan ikut tercemar. “Dan, orang-orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya, mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang sebaliknya, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S. al-Ma’ārij/70:29-31) Allah Swt. sangat melaknat orang yang berbuat zina, dan menyamaratakannya dengan orang yang berbuat syirik dan membunuh. Sungguh, tiga perbuatan dosa besar yang amat sangat dibenci oleh Allah Swt. Firman-Nya: “Dan, janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya, zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. al-Isrā’/17:32). 

Ketiga, menjaga batasan aurat yang telah dijelaskan dengan rinci dalam hadis-hadis Nabi. Allah Swt. memerintahkan kepada setiap mukminah untuk menutup auratnya kepada mereka yang bukan ma¥ram, kecuali yang biasa tampak dengan memberikan penjelasan siapa saja boleh melihat. Di antaranya adalah suami, mertua, saudara laki-laki, anaknya, saudara perempuan, anaknya yang laki-laki, hamba sahaya, dan pelayan tua yang tidak ada hasrat terhadap wanita. Di samping ketiga hal di atas, Allah Swt. menegaskan bahwa walaupun auratnya sudah ditutup namun jika berusaha untuk ditampakkan dengan berbagai cara termasuk dengan menghentakkan kaki supaya gemerincing perhiasannya terdengar, hal itu sama saja dengan membuka aurat. Oleh karena itu, ayat ini ditutup dengan perintah untuk bertaubat karena hanya dengan taubat dari kesalahan yang dilakukan dan berjanji untuk mengubah sikap, maka kita akan beruntung.

3. Hadis dari Ummu ‘Aţiyyah


Dari Umu ‘A¯iyah, ia berkata, “Rasulullah saw. memerintahkan kami untuk keluar pada Hari Fi¯ri dan A«¥a, baik gadis yang menginjak akil balig, wanita-wanita yang sedang haid, maupun wanita-wanita pingitan. Wanita yang sedang haid tetap meninggalkan śalat, namun mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Muslim. Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah saw., salah seorang di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab?’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya.’” (H.R. Muslim). 

Kandungan Hadis Kandungan hadis di atas adalah perintah Allah Swt. kepada para wanita untuk menghadiri prosesi śalat ‘Īdul Fiţri dan ‘Īdul Adĥa, walaupun dia sedang haid, sedang dipingit, atau tidak memiliki jilbab. Bagi yang sedang haid, maka cukup mendengarkan khutbah tanpa perlu melakukan śalat berjama’ah seperti yang lain. Wanita yang tidak mempunyai jilbab pun dapat meminjamnya dari wanita lain. Hal ini menunjukkan pentingnya dakwah/khutbah kedua śalat ‘idain. Kandungan hadis yang kedua, yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar berisi tentang kemurkaan Allah Swt. terhadap orang yang menjulurkan pakaiannya dengan maksud menyombongkan diri.

Menerapkan Perilaku Mulia

Mengenakan busana yang sesuai dengan syari’at Islam bertujuan agar manusia terjaga kehormatannya. Ajaran Islam tidak bermaksud untuk membatasi atau mempersulit gerak dan langkah umatnya. Akan tetapi dengan aturan dan syari’at tersebut manusia akan terhindar dari berbagai kemungkinan yang akan mendatangkan bencana dan kemudaratan bagi dirinya. Berikut ini beberapa perilaku mulia yang harus dilakukan sebagai pengamalan berbusana sesuai syari’at Islam, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.

1. Sopan-santun dan ramah-tamah Sopan-santun dan ramah-tamah merupakan ciri mendasar orang yang beriman. Mengapa demikian? Karena hal ini merupakan salah satu akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. sebagai teladan dan panutan. Rasulullah saw. adalah orang yang santun dan lembut perkataannya serta ramah-tamah perilakunya. Hal itu ditunjukkan oleh Rasulullah saw. bukan saja kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya, tetapi kepada orang lain bahkan kepada orang yang memusuhinya sekalipun. 

 2. Jujur dan amanah Jujur dan amanah adalah sifat orang-orang yang beriman dan saleh. Tidak akan keluar perkataan dusta dan perilaku khianat jika seseorang benar-benar beriman kepada Allah Swt. Orang yang membiasakan diri dengan hidup jujur dan amanah, maka hidupnya akan diliputi dengan kebahagiaan. Betapa tidak, banyak orang yang hidupnya gelisah dan menderita karena hidupnya penuh dengan dusta. Dusta adalah seburuk-buruk perkataan. 

 3. Gemar beribadah Beribadah adalah kebutuhan rokhani bagi manusia sebagaimana olahraga, makan, minum, dan istirahat sebagai kebutuhan jasmaninya. Karena ibadah adalah kebutuhan, maka tidak ada alasan orang yang beriman untuk melalaikan atau meninggalkannya. Orang yang beriman akan dengan senang hati melakukannya tanpa ada rasa keterpaksaan sedikitpun. 

 4. Gemar menolong sesama Menolong orang lain pada hakikatnya adalah menolong diri sendiri. Bagi orang yang beriman, menolong dengan niat ikhlas karena Allah Swt. sematamata akan mendatangkan rahmat dan karunia yang tiada tara. Berapa banyak orang yang gemar membantu orang lain hidupnya mulia dan terhormat. Namun sebaliknya, bagi orang-orang yang kikir dan enggan membantu orang lain, dapat dipastikan ia akan mengalami kesulitan hidup di dunia ini. Tolonglah orang lain, niscaya pertolongan akan datang kepadamu meskipun bukan berasal dari orang yang kamu tolong. 

5. Menjalankan amar makruf dan nahi munkar Maksud amar makruf dan nahi munkar adalah mengajak dan menyeru orang lain untuk berbuat kebaikan dan mencegah orang lain melakukan kemunkaran/kemaksiatan. Hal ini dapat dilakukan dengan efektif jika ia telah memberikan contoh yang baik bagi orang lain yang diserunya. Tugas mulia tersebut haruslah dilakukan oleh setiap orang yang beriman. Ajaklah orang lain berbuat kebaikan dan cegahlah ia dari kemunkaran!

Rangkuman 

1. Menutup aurat adalah kewajiban agama yang ditegaskan dalam al-Qur’ān maupun hadis Rasulullah saw. 

 2. Kewajiban menutup aurat disyari’atkan untuk kepentingan manusia itu sendiri sebagai wujud kasih sayang dan perhatian Allah Swt. terhadap kemaslahatan hamba-Nya di muka bumi. 

3. Kewajiban bagi kaum mukminah untuk mengenakan jilbab untuk menutup auratnya kecuali terhadap beberapa golongan. 

4. Dalam Q.S. al-Aĥzāb/33:39 ditegaskan perintah menggunakan jilbab dan memanjangkannya hingga ke dada, dengan tujuan untuk memberikan rasa nyaman dan aman kepada setiap mukminah. Sementara yang tidak memiliki jilbab, dia bisa meminjamnya dari saudara seiman. 

5. Hadis dari Ummu Aţiyyah berisi anjuran kepada setiap muslimah untuk menghadiri śalat ‘Īdul Fiţri dan ‘Īdul Adĥa meskipun sedang haid atau dipingit. 

 6. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. an-Nµr/24:31 untuk menjaga pandangan, memelihara kemaluan, dan tidak menampakkan aurat, kecuali kepada: suami, ayah suami, anak laki-laki suami, saudara laki-laki, anak laki saudara laki-laki, anak lelaki saudara perempuan, perempuan mukminah, hamba sahaya, pembantu tua yang tidak lagi memiliki hasrat terhadap wanita. 

 7. Allah Swt. memerintahkan setiap mukmin dan mukminah di dua ayat ini untuk bertaubat untuk memperoleh keberuntungan.

Evaluasi 

A. Uji Pemahaman Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jelas. 

1. Tulislah salah satu ayat yang berhubungan dengan memanjangkan jilbab hingga ke dada lengkap dengan artinya. 

2. Tulislah salah satu Hadis tentang batasan pakaian wanita lengkap dengan artinya. 

3. Tuliskan beberapa manfaat menggunakan jilbab. 

4. Sebutkan sikapmu yang harus ditunjukkan ketika terlihat oleh mata ada kemaksiatan. 

5. Tuliskan 3 (tiga) dampak negatif akibat membuka aurat

B. Refleksi Berilah tanda checklist (v) yang sesuai dengan dorongan hatimu untuk menanggapi pernyataan-pernyataan berikut.




MATERI PAI KELAS X BAB V

 

A. Memahami Makna Pengendalian Diri, Prasangka Baik (Husnużżan) dan Persaudaraan (Ukhuwah)

1. Pengendalian Diri (Mujāhadah an-Nafs)

Pengendalian diri atau kontrol diri (Mujāhadah an-Nafs) adalah menahan diri dari segala perilaku yang dapat merugikan diri sendiri dan juga orang lain, seperti sifat serakah atau tamak. Dalam literatur Islam, pengendalian diri dikenal dengan istilah aś-śaum, atau puasa. Puasa adalah salah satu sarana mengendalikan diri. Hal tersebut berdasarkan hadis Rasulullah saw. yang artinya: “Wahai golongan pemuda! Barangsiapa dari antaramu mampu menikah, hendaklah dia nikah, yang demikian itu amat menundukkan pemandangan dan amat memelihara kehormatan, tetapi barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah dia puasa, karena (puasa) itu menahan nafsu baginya.” (H.R. Bukhari)

Jadi, jelaslah bahwa pengendalian diri diperlukan oleh setiap manusia agar dirinya terjaga dari hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt.

 2. Prasangka Baik (khusnużżan)

Prasangka baik atau ĥusnużżan berasal dari kata Arab, yaitu ĥusnu yang artinya baik, dan żan yang artinya prasangka. Jadi, prasangka baik atau positive thinking dalam terminologi Islam dikenal dengan istilah ĥusnużżan. Istilah ĥusnużżan adalah sikap orang yang selalu berpikir positif terhadap

apa yang telah diperbuat oleh orang lain. Lawan dari sifat ini adalah buruk sangka (su’użżan), yaitu menyangka orang lain melakukan hal-hal buruk tanpa adanya bukti yang benar. Dalam ilmu akhlak, ĥusnużżan dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu ĥusnużżan kepada Allah Swt. ĥusnużżan kepada diri sendiri, dan ĥusnużżan kepada orang lain. Prasangka baik adalah sifat yang sangat penting untuk dimiliki oleh  setiap orang yang beriman. Sebaliknya, prasangka buruk adalah sifat

yang harus dijauhi dan dihindari.

3. Persaudaraan (ukhuwwah)

Persaudaraan (ukhuwwah) dalam Islam dimaksudkan bukan sebatas hubungan kekerabatan karena faktor keturunan, tetapi yang dimaksud dengan persaudaraan dalam Islam adalah persaudaraan yang diikat oleh tali aqidah (sesama muslim) dan persaudaraan karena fungsi kemanusiaan

(sesama manusia makhluk Allah Swt.). Kedua persaudaraan tersebut sangat jelas dicontohkan oleh Rasulullah saw., yaitu mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anșar, serta menjalin hubungan persaudaraan dengan suku-suku lain yang tidak seiman dan melakukan kerja sama

dengan mereka.

B. Ayat- ayat al-Qur’ān tentang Pengendalian Diri, Prasangka Baik, dan Persaudaraan (ukhuwah)

1. Q.S. al-ujurāt/49:12

 Lafal Ayat dan Artinya

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian  prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.”

Kandungan Ayat

isi kandungan Surat Al Hujurat ayat 10 yang kami sarikan dari sejumlah tafsir. Yakni Tafsir Al Qur’anil ‘Adhim karya Ibnu Katsir, Tafsir Al Munir karya Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Tafsir Fi Zilalil Quran karya Sayyid Qutb dan Tafsir Al Azhar karya Buya Hamka.

  • Orang-orang mukmin, meskipun bukan saudara kandung, mereka terikat dengan persaudaraan iman (ukhuwah imaniyah) bagaikan saudara sekandung bahkan ikatannya lebih kuat lagi.
  • Ketika ada orang-orang mukmin berselisih dan bertikai, kewajiban bagi mukmin lainnya untuk mendamaikan mereka. Terutama pemimpin kaum muslimin, mereka yang paling wajib mendamaikan.
  • Pertikaian bisa terjadi bahkan di antara dua orang. Meskipun yang bertikai dua orang, wajib bagi mukmin untuk mendamaikan mereka, apalagi jika yang bertikai banyak orang.
  • Orang-orang mukmin harus menjadikan taqwa sebagai landasan dalam seluruh amal dan aktifitasnya. Termasuk dalam mendamaikan dua orang yang bertikai. Dengan taqwa ia bisa adil dan tidak diskriminatif. Dengan taqwa juga akan memperoleh rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
  • Ayat ini mengisyaratkan persatuan dan kesatuan akan melahirkan rahmat bagi kaum mukminin. Sebaliknya, pertikaian dan perpecahan akan menjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

2. Q.S. al-Hujurāt/49:10

Lafal Ayat dan Artinya

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua  saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”

 

Kandungan Ayat

Pada ayat di atas Allah Swt. menegaskan ada dua hal pokok yang perlu diketahui. Pertama, bahwa sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Kedua, jika terdapat perselisihan antarsaudara, kita diperintahkan oleh Allah Swt. untuk melakukan iślah (upaya perbaikan atau perdamaian).

Apakah indikasi dari suatu persaudaraan? Rasulullah saw. bersabda, Demi Allah yang menguasai diriku! Seseorang di antara kalian tidak dianggap beriman kecuali jika dia menyayangi saudaranya sesama mukmin sama seperti dia menyayangi dirinya sendiri.” (H.R. Bukhari)

Selain itu Rasulullah saw. juga menegaskan, “Seorang muslim adalah orang yang lidah dan tangannya tidak menyakiti muslim lain, dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan semua larangan Allah.” (H.R. Bukhari)

 

C. Hadis tentang Pengendalian Diri, Prasangka Baik, dan Persaudaraan

1. Hadis tentang Pengendalian Diri

Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Orang yang perkasa bukanlah orang yang menang dalam perkelahian, tetapi orang yang perkasa adalah orang yang mengendalikan dirinya ketika marah.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

2. Hadis tentang Prasangka Baik

Rasulullah saw. bersabda:

“Jauhkanlah dirimu dari prasangka buruk, karena sesungguhnya prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta.” (H.R. Bukhari)

3. Hadis tentang Persaudaraan

Diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir ra. bahwa Rasulullah saw. Bersabda:

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling mencintai, saling mengasihi, dan saling menyayangi, seperti satu tubuh. Apabila satu organ tubuh merasa sakit, akan menjalar kepada semua organ tubuh, yaitu tidak dapat tidur dan merasa demam.” (H.R. Muslim)

 

Menerapkan Perilaku Mulia

A. Pengendalian Diri (Mujāhadah an-Nafs)

1. Bersabar dengan tidak membalas terhadap ejekan atau cemoohan teman yang tidak suka terhadap kamu.

2. Memaafkan kesalahan teman dan orang lain yang berbuat “aniaya” kepada kita.

3. Ikhlas terhadap segala bentuk cobaan dan musibah yang menimpa, dengan terus berupaya memperbaiki diri dan lingkungan.

4. Menjauhi sifat dengki atau iri hati kepada orang lain dengan tidak membalas kedengkian mereka kepada kita.

5. Mensyukuri segala nikmat yang telah diberikan Allah Swt. kepada kita, seta tidak merusak nikmat tersebut. Seperti menjaga lingkungan agar selalu bersih, menjaga tubuh dengan merawatnya, berolahraga, mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal, dan sebagainya.

BPrasangka Baik (Husnużżan)

1. Memberikan apresiasi atas prestasi yang dicapai oleh teman atau orang lain dalam bentuk ucapan atau pemberian hadiah.

2. Menerima dan menghargai pendapat teman/orang lain meskipun pendapat tersebut berlawanan dengan keinginan kita.

3. Memberi sumbangan sesuai kemampuan kepada peminta-minta yang datang ke rumah kita.

4. Turut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial baik di lingkungan rumah, sekolah, ataupun masyarakat.

5. Mengerjakan tugas-tugas yang diberikan kepada kita dengan penuh tanggung jawab.

C. Persaudaraan (Ukhuwwah)

1. Menjenguk/mendoakan/membantu teman/orang lain yang sedang sakit atau terkena musibah.

2. Mendamaikan teman atau saudara yang berselisih agar mereka sadar dan kembali bersatu.

3. Bergaul dengan orang lain dengan tidak memandang suku, bahasa, budaya, dan agama yang dianutnya.

4. Menghindari segala bentuk permusuhan, tawuran, ataupun kegiatan yang dapat merugikan orang lain.

5. Menghargai perbedaan suku, bangsa, agama, dan budaya teman/orang lain.